Pengumpulan dan
Penertiban Al-Quran
Muslimdaily.net – Yang dimaksud dengan
pengumpulan Al-Qur’an (jam’ul Qur’an) oleh para ulama adalah salah satu dari
dua pengertian berikut:
Pertama;
Pengumpulan dalam arti hafazhahu (menghafalnya
dalam hati). Jumma’ul Qur’an artinya huffazhuhu (para penghafalnya, yaitu
orang-orang yang menghafalkannya di dalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan
dalam firman Allah kepada Nabi, dimana Nabi senantiasa menggerak-gerakkan kedua
bibir dan lidahnya untuk membaca Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu turun kepadanya
sebelum Jibril selesai membacakannya, karena hasrat besarnya untuk
menghafalnya, sebagaimana dalam surat Al-Qiyamah ayat 16-19.
Kedua;
Pengumpulan dalam arti kitabuhu kullihi (penulisan Al-Qur’an semuanya) baik
dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surat-suratnya, atau menertibkan
ayat-ayatnya semata dan setiap surat ditulis dalam satu lembaran yang terpisah,
ataupun menertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya dalam lembaran-lembaran yang
terkumpul yang menghimpun semua surat, sebagiannya ditulis sesudah sebagian
yang lain.
1. a) Pengumpulan
Al-Qur’an dalam Konteks Hafalan Pada Masa Nabi
Dalam
kitab shahih-nya, Al-Bukhari telah mengemukakan tentang tujuh penghafal
Al-Qur’an dengan tiga riwayat. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin
Ma’qil maula Abi Hudzaifah, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit,
Abu Zaid bin Sakan dan Abu Ad-Darda’.
Pembatasan
tujuh orang sebagaimana disebutkan Al-Bukhari dengan tiga riwayat di atas,
maksudnya, mereka itulah yang hafal seluruh isi Al-Qur’an di luar kepala, dan
selalu merujukkan hafalannya di hadapan Nabi, isnad-isnadnya sampai kepada
kita. Sedangkan para penghafal Al-Qur’an lainnya -yang berjumlah banyak- tidak
memenuhi hal-hal tersebut, terutama karena para sahabat telah tersebar di
pelbagai wilayah dan sebagian mereka menghafal dari yang lain.
Ibnul
Jazari, sebagai seorang syaikh para penghafal pada masanya menyebutkan,
“Penukilan Al-Qur’an dengna berpegang pada hafalan -bukan pada tulisan dan
kitab- merupakan salah satu jenis keistimewaan yang diberikan Allah kepada umat
ini.”
b) Pengumpulan Al-Qur’an
dalam Konteks Penulisannya Pada Masa Nabi
Rasulullah
saw mengangkat para penulis wahyu Al-Qur’an dari sahabat-sahabat terkemuka,
seperti Ali, Muawiyah, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Bila ayat turun, ia
memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkan, di mana tempat ayat
tersebut dalam surat. Maka penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan
dalam hati.
Al-Qur’an telah dihafal dan tertulis salam mushaf dengan susunan
seperti di sebutkan di atas; ayat-ayat dan surat-surat dipisahkan, atau
ditertibkan ayat-ayatnya saja, setiap surat berada dalam satu lembaran secara
terpisah dan dalam tujuh huruf (sab’atu
ahruf), tetapi Al-Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang
menyeluruh (lengkap), sebab apabila wahyu turun segera dihafal oleh para qurra’
dan ditulis oleh para penulis. Dan saat itu belum ada tuntutan kondisi untuk
membukukannya dalam satu mushaf, sebab Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu
dari waktu ke waktu. Di samping itu terkadang pula terdapat ayat yang menasakh
(menghapuskan) ayat yang turun sebelumnya.
Sesudah
berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasulullah, maka Allah mengilhamkan
peulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafa’ur Rasyidin sesuai dengan
janji-Nya yang benar kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya. Hal ini
terjadi pertama kali pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar.
Dengan demikian, jam’ul
Al-Qur’an (pengumpulan
Al-Qur’an) di masa Nabi ini dinamakan: a) Hifzhan(hafalan);
dan b) Kitabatan (pembukuan)
yang pertama.
2. Pengumpulan A Qur’an
pada masa Abu Bakar.
Pada perang Yamamah tahun 12 H. terjadi peperangan melawan kaum
murtad. Pada peperangan ini 70 sahabat yang hafal Al Qur’an gugur. Umar bin
Khatab merasa khawatir melihat kenyataan ini lalu ia menghadap Abu Bakar dan
mengajukaan usul agar mengumpulkan Al Qur’an karena dikhawatirkan akan musnah.
Pada awalnya Abu Bakar menolak usulan ini karena hal ini belum pernah dilakukan
oleh Rasulullah, namun pada akhirnya iapun menerima usulan umar tersebut. Lalu
ia memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk melaksanakan tugas ini mengingat
kedudukannya dalam qiraat, penulisan, kecerdasan dan kehadirannya dalam
pembacaan yang terakhir kali.
Zaid
memulai tugasnya dengan sangat teliti dengan bersandar pada hafalan yang ada
didalam hati para qura dan catatan yang ada pada para penulis. Ia menuturkan:
“kukumpulkan ia dari pelepah kurma, kepingan-kepingan batu dan dari hafalan
para penghafal, sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surat Taubah berada pada
Abu Huzaimah Al Anshary, yang tidak kudapatkan dari orang lain”. Hal ini bukan
berarti tidak mutawatir, Zaid sendiri hafal dan demikian pula para sahabat
lainnya. Tapi ini dilakukan sebagai bentuk kehati-hatiannya.
Diriwayatkan bahwa ia tidak mau menerima dari seseorang mengenai
hafalan Al Qur’an sebelum disaksikan oleh dua orang saksi.
Kemudian hasil penulisan ini disimpan di tangan Abu Bakar sampai beliau wafat.
Setelah beliau wafat lembaran-lembaran itu berpindah ketangan umar dan tetap
berada ditagannya hingga ia wafat. Kemudian mushaf itu berpindah ketangan
Hafshah,putri Umar. Pada permulaan khalifah Usman, Usman memintanya dari tangan
hafshah.
3. Pengumpulan Al-Qur’an
pada masa Ustman
Ketika
terjadi perang Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk irak, Abu Hudzaifah
melihat banyak perbedaan dalam caara-cara mambaca Al Qur’an. Sebagian bacaan
bercampur dengan kesalahan. Tapi masing-masing mempertahankan dan memegangi
bacaannya, hingga mereka saling mengkafirkan. Melihat kejadian ini ia menghadap
khalifah Usman dan melaporkan apa yang dilihatnya.
Utsman
kemudian mengirimkan utusan ke Hafsah (untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar yang
ada padanya). Kemudian Utsman memanggil Zaid bin tsabit Al nshary, Abdullah bin
Zubair, Sa’id bin As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam, ketiga orang
terakhir adalah suku Quraisy; lalu memerintahkan mereka untuk menyalin dan
memperbanyak mushaf, serta memrintahkan pula agar apa yang diperselisihkan oleh
Zaid dan ketiga Quraisy itu ditulis dalam bahasa Quraisy, karena Al Quran turun
dengan logat mereka.
Setelah
selesai menyalinnya, Utsman mengembalikan lembaran-lembaran aslinya kepada
Hafshah. Selanjutnya Usman mengirimkan kesetiap wilayah mushaf yang baru
tersebut dan memerintahkan agar semua Mushaf / Qur’an lain di bakar.
Perbedaan antara
pengumpulan Abu Bakar dengan Utsman
Pengumpulan
yang dilakukan Abu Bakar bermotif kehawatiran beliau akan hilangnya Al Qur’an
karena banyaknya hufadz yang gugur dalam peperangan. Sedangkan pada priode
Utsman bermotif karena banyaknya perbedaan bacaan Al Qur’an yang disaksikannya
sendiri di daerah yang saling menyalahkan satu dengan yang lainnya.
Pada
masa Abu Bakar pengumpulan dalam bentuk memindahkan semua tulisan atau catatan
aslinya kemudian di kumpulkan dalam satu mushaf, dengan surah-surah dan ayatnya
yang tersusun serta terbatas pada bacaan-bacaan yang tidak mansukh dan masih
mencakup ketujuh huruf sebagaimana ketika Al Qur’an diturunkan. Sedangkan pada
masa Utsman menyalinya dari tujuh huruf menjadi satu mushaf dan satu huruf
diantara tujuh huruf itu, untuk mempersatukan kaum muslimin dalam satu mushaf
dan satu huruf yang mereka baca tanpa keenam yang lainnya.
Syubhat dan bantahannya
Meraka
mengatakan bahwa dalam Al Qur’an terdapat sesuatu yang bukan dari Al Qur’an ?
mereka berdalail dengan riwayat yang menyebutkan bahwa Abdullah bin Mas’ud
mengingkari An ns dan Al Falq termasuk dari Al Quran.
Jawab, riwayat ini tidaklah benar karena bertentangan dengan
kesepakatan umat. An nawawi mengatakan dalam Syarhul Muhadzab, “Kaum muslimin
sepakat bahwa kedua surah (An Naas dan Al falq) itu dan surat fatihah termasuk
Al Qur’an dan siapa saja yang mengingkarinya, sedikitpun ia telah kafir.
Ibnu Haazm berpendapat: “riwayat tersebut merupakan pendustaan dan pemalsuan
atas nama Ibnu Mas’ud.
Yang
dimaksud dengan pengumpulan al-Qur’an [jam’ul Qur’an] oleh para ulama adalah
salah satu dari dua pengertian berikut:
1. Pertama: pengumpulan dalam arti hifdhuHu (menghafalnya dalam hati).
Jummaa’ul qur-aan artinya huffaadhuHu (penghafal-penghafalnya, maksudnya orang
yang menghafal dalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah
kepada Nabi. Nabi senantiasa menggerakkan bibir dan lidah untuk membaca
al-Qur’an ketika al-Qur’an itu turun kepada beliau sebelum Jibril selesai
membacakannya, karena ingin menghafalnya:
“Janganlah
kamu gerakkan lidahmu untuk membaca al-Qur’an karena hendak cepat-cepat
menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya [di dadamu]
dan [membuatmu pandai] membacanya. Apabila Kami selesai membacanya maka
ikutilah bacaannya itu. Kemudian atas tanggungan Kamilah penjelasannya.”
(al-Qiyaamah: 16-19)
Ibn ‘Abbas
mengatakan: “Rasulullah sangat ingin segera menguasai al-Qur’an yang
diturunkan. Ia menggerakkan lidan dan kedua bibirnya karena takut apa yang
turun itu terlewatkan. Beliau ingin segera menghafalnya. Maka Allah menurunkan:
(“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca al-Qur’an karena hendak
cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya
dan membacanya.”) Maksudnya: “Kami yang mengumpulkannya di dalam dadamu, kemudian
Kami membacakannya.” (“Apabila Kami selesai membacanya maka ikutilah bacaannya
itu.”) maksudnya “Apabila Kami telah menurunkannya kepadamu, maka ikutilah
bacaan itu; maksudnya “dengarkanlah dan perhatikanlah ia”. (“Kemudian atas
tanggungan Kamilah penjelasannya.”) yakni “menjelaskan dengan lidahmu.”
Dalam
lafal yang lain dikatakan: “Atas tanggungan Kamilah membacanya.” Maka setelah
ayat ini turun bila Jibril datang, Rasulullah diam. Dalam lafal yang lain: “Ia
mendengarkan.” Dan bila Jibril telah pergi, barulah beliau membacanya
sebagaimana perintah Allah.”
2. Kedua:
pengumpulan dalam arti “KitaabatuHu kulliHi” (Penulisan al-Qur’an semuanya)
baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan
ayat-ayat semata dan setiap surah ditulis dalam satu lembar secara terpisah,
ataupun penertiban ayat-ayat dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang
terkumpul yang menghimpun semua surah, sebagaimana ditulis sesudah bagian yang
lain.
Menurut keterangan Ibnu Hisyam, kemudian secara berturut-turut
manusia, wanita, dan lelaki memeluk Islam sehingga berita Islam tersiar di
Makkah dan menjadi bahan pembicaraan orang. Allah selalu memerintahkan
Rasul-Nya menyampaikan Islam dan mengajak orang kepadanya secara
terang-terangan setelah selama tiga tahun Rasulullah saw. melakukan dakwah
secara tersembunyi.
Allah kemudian berfirman kepadanya, “Maka siarkanlah apa yang
diperintahkan kepadamu dan janganlah kamu pedulikan orang musyrik.” (al-Hijr:
94)
“Dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat, dan
rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang
yang beriman.” (asy-Syu’araa’: 214-215)
“Dan katakanlah, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang
menjelaskan.” (al-Hijr: 89)
Pada waktu itu pula, Rasulullah saw. segera melaksanakan
perintah Allah kemudian menyambut firman Allah, “Maka siarkanlah apa yang
diperintahkan kepadamu dan janganlah kamu pedulikan orang musyrik.” Dengan
pergi ke atas bukit Shafa lalu memanggil, “Wahai bani Fihr, wahai bani ‘Adi.”
Sehingga mereka berkumpul dan orang yang tidak bisa hadir mengirimkan orang
untuk melihat apa yang terjadi. Nabi saw. berkata, “Bagaimana pendapatmu
apabila aku kabarkan bahwa di belakang gunung ini ada sepasukan berkuda musuh
yang datang akan menyerangmu, apakah kamu mempercayaiku?” mereka menjawab: “Ya
kami belum pernah melihat engkau berdusta.” Kata Nabi saw: “Ketahuilah, sesungguhnya
aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kalian dari siksa yang pedih.” Abu
Lahab kemudian memprotes, “Sungguh celaka kamu sepanjang hari. Hanya untuk
inikah kamu mengumpulkan kami.” Selanjutnya turunlah firman Allah: “Binasalah
kedua belah tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya dia akan binasa.” (Muttafaq
‘alaih)
Rasulullah saw. lalu turun dan melaksanakan firman Allah, “Dan
berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat.” Dengan mengumpulkan semua
keluarga dan kerabatnya lalu berkata kepada mereka, “Wahai Bani Ka’ab bin
Lu’ai, selamatkanlah dirimu dari api neraka! wahai Bani Murrah bin Ka’b,
selamatkanlah dirimu dari api neraka. Wahai bani Abdi Syams, selamatkanlah
dirimu dari api neraka! wahai bani Abdul Muththalib, selamatkanlah dirimu dari
api neraka. wahai Fatimah, selamatkanlah dirimu dari api neraka. sesungguhny
aku tidak akan dapat membela kalian di hadapan Allah selain bahwa kalian
mempunyai tali kekeluargaan yang aku sambung dengan hubungannya.” (Muttafaq
‘alaihi, lafal ini bagi Muslim)
Dakwah Nabi saw. secara terang-terangan ini ditentang dan
ditolak oleh bangsa Quraisy dengan alasan bahwa mereka tidak dapat meninggalkan
agama yang telah mereka warisi dari nenek moyang mereka dan sudah menjadi
bagian dari tradisi kehidupan mereka. pada saat itulah Rasulullah mengingatkan
mereka akan perlunya pembebasan fikiran dan akal mereka dari belenggu taklid.
Selanjutnya dijelaskan oleh Nabi saw. bahwa tuhan-tuhan yang mereka sembah itu
tidak bisa memberi faedah atau bahaya sama sekali dan bahwa turun-temurunnya
nenek moyang mereka dalam menyembah tuhan-tuhan itu tidak dapat dijadikan
alasan untuk mengikuti mereka secara taklid buta.
Firman Allah: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah
apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya
mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”.
“(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”. (al-Baqarah: 170)
Ketika Nabi saw. mencela tuhan-tuhan mereka, membodohkan mimpi
mereka, dan mengecam tindakan taklid buta mereka kepada nenek moyang mereka
dalam menyembah berhala, mereka menentang dan sepakat untuk memusuhinya kecuali
pamannya, Abu Thalib, yang membelanya.
BEBERAPA IBRAH:
1. Sesungguhnya ketika Rasulullah saw. menyampaikan dakwah Islam
secara terang-terangan kepada Quraisy dan bangsa Arab pada umumnya, ini
mengejutkan mereka dengan sesuatu yang tidak pernah mereka perkirakan
sebelumnya, atau asing sama sekali. Ini tampak jelas dalam reaksi Abu Lahab
terhadapnya dan kesepakatan tokoh-tokoh Quraisy untuk memusuhi dan
menentangnya.
Hal ini kiranya cukup menjadi jawaban telak bagi orang-orang
yang berusaha menggambarkan syariat Islam sebagai salah satu dari buah
nasionalisme [Arab] dan menganggap Muhammad saw. dengan dakwah yang dilakukannya
sebagai cerminan idealisme dan pemikiran Arab pada masa itu.
Pengkaji Sirah Nabawiyah tidak perlu menyusahkan diri untuk
menyanggah atau mendiskusikan tuduhan-tuduhan lucu tersebut. Sebenarnya orang
yang melontarkan tuduhan-tuduhan tersebut mengetahui kepalsuan dan kenaifannya.
Akan tetapi betapapun tuduhan-tuduhan tersebut, dalam pandangan mereka, harus
dilontarkan guna menghancurkan Islam dan pengaruhnya tidaklah penting bahwa
tuduhan tersebut harus benar. Yang penting, kepentingan dan tujuan mereka
memerlukan pengelabuhan seperti itu.
2. Sebenarnya bisa saja Allah tidak memerintahkan Rasul-Nya
untuk memberikan peringatan kepada keluarga dan kerabat dekatnya secara khusus
karena sudah cukup dengan keumuman perintah-Nya yang lain, yaitu perintah-Nya: “Maka
siarkanlah apa yang diperintahkan kepadamu.” Perintah ini sudah mencakup semua
anggota keluarga dan kerabatnya. Lalu apa hikmah dikhususkannya perintah untuk
memberi peringatan kepada keluarga ini?
Jawabannya: ini merupakan isyarat kepada beberapa tingkatan tanggung jawab yang
berkaitan dengan setiap Muslim pada umumnya dan para da’i pada khususnya.
Tingkat tanggung jawab yang paling rendah ialah tanggung jawab
seseorang terhadap dirinya. Karena mempertimbangkan penumbuhan tingkat tanggung
jawab ini, rentang waktu permulaan wahyu berlangsung sekian lama yakni sampai
Muhammad saw. mantap dan menyadari bahwa ia adalah seorang Nabi dan Rasul,
bahwa apa yang diturunkan kepadanya adalah wahyu dari Allah yang harus
diyakininya dulu dan mempersiapkan dirinya untuk menerima prinsip, sistem, dan
hukum yang akan diwahyukan.
Tingkat berikutnya adalah tanggung jawab seorang muslim terhadap
keluarga dan kerabat dekatnya. Sebagai pengarahan kepada pelaksanaan tanggung
jawab ini, Allah secara khusus memerintahkan Nabi-Nya agar memberi peringatakan
kepada keluarga dan kerabat dekatnya setelah perintah ber-tabligh secara umum.
Tingkat tanggung jawab ini merupakan kewajiban bagi setiap Muslimm yang
memiliki keluarga atau kerabat. Tidak ada perbedaan antara dakwah Rasul kepada
kaumnya dan dakwah seorang muslim kepada keluarganya. Hanya saja yang pertama
berdakwah kepada syariat baru yang diturunkan Allah kepadanya, sedangkan yang
kedua berdakwah dengan dakwah Rasul, sebagaimana Nabi atau Rasul tidak boleh
untuk tidak menyampaikan dakwah kepada keluarga dan kerabat dekatnya. Ia bahkan
wajib “memaksa” keluarganya untuk melaksanakannya. Demikian pula halny seorang
muslim terhadap keluarga dan kerabat dekatnya.
Tingkat ketiga adalah tanggung jawab seorang ‘alim [berilmu]
terhadap kampung atau negerinya dan tanggung jawab seorang penguasa terhadap
negeri dan kaumnya. Masing-masing dari keduanya menggantikan tanggung jawab
Rasulullah saw. secara syar’i, sebagaimana beliau bersabada: “Ulama adalah
perwaris para Nabi.” Selain itu, imam dan penguasa juga disebut khalifah
[pengganti], yaitu pengganti Rasulullah.
Akan tetapi, imam dan penguasa, dalam masyarakat Islam,
diharuskan memiliki ilmu. Hal ini karena tidak ada perbedaan antara tabiat
tanggung jawab yang diemban oleh Rasulullah saw. dan tanggung jawab yang
diembankan para ulama dan penguasa. Bedanya, Rasulullah saw. menyampaikan
syariat baru yang diwahyukan Allah kepadanya, sedangkan mereka mengikuti jejak
Rasulullah saw. dan berpegang teguh pada sunah dan sirahnya dan dalam apa yang
mereka lakukan dan sampaikan.
Jadi sebagai seorang mukallaf, Nabi saw. bertanggung jawab
terhadap dirinya. Sebagai pemilik keluarga dan kerabat, Nabi saw. bertanggung
jawab terhadap keluarga dan kerabatnya. Sebagai seorang Nabi dan Rasul Allah,
beliau bertanggung jawab terhadap semua manusia.
3. Rasulullah saw. mencela kaumnya karena mereka menjadi
“tawanan” tradisi nenek moyang mereka tanpa berpikir lagi tentang baik
buruknya. Rasulullah saw. kemudian mengajak mereka untuk membebaskan akal dari
belenggu taklid buta dan fanatisme terhadap tradisi yang tidak bertumpu di atas
landasan pemikiran dan logika sehat.
Hal ini menjadi dalil bahwa agama ini –termasuk masalah
keyakinan dan hukum- bertumpu di atas akal dan logika. Oleh karena itu, di
antara syarat terpenting kebenaran iman kepada Allah dan masalah-masalah
keyakinan yang lain ialah bahwa kimanan tersebut harus didasarkan kepada asas
keyakinan dan pemikiran yang bebas, tanpa dipengaruhi oleh kebiasaan atau
tradisi sama sekali sehingga pengarang kita Jauharatut Tauhid mengatakan:
“Seseorang yang bertaklid dalam masalah tauhid, keimanannnya tidak terbebas
dari keraguan.”
Dari sini kita dapat ketahui bahwa Islam datang untuk memerangi
tradisi dan melarang masuk ke dalam jeratnya. Hal ini karena semua prinsip dan
hukum Islam didasarkan pada akal dan logika yang sehat, sedangkan tradisi
didasarkan pada dorongan ingin mengikuti semata tanpa ada unsur seleksi dan
pemikiran. Kata tradisi dalam bahasa Arab berarti sejumlah kebiasaan yang
diwarisi secara turun-temurun atau berlangsung karena faktor pergaulan dalam
suatu lingkungan atau negeri, dimana taklid semata merupakan penopang utama
bagi kehidupan dan kesinambungan tradisi tersebut.
Semua pola kehidupan yang dibiasakan manusia, seperti beberapa
permainan pada saat-saat kegembiraan atau berpakaian hitam pada saat kesusahan
dan kematian, yang bertahan secara turun-temurun karena faktor perwarisan atau
transformasi melalui pergaulan, dalam istilah bahasa dan ilmu sosial disebut
“tadisi”.
Dengan demikian Islam sama sekali tidak mengandung unsur
tradisi, baik yang berkaitan dengan aqidah, hukum, maupun sistem, karena aqidah
didasarkan pada landasan akal dan logika. Demikian pula hukum, ia didasarkan
pada kemaslahatan duniawi dan ukhrawi. Kemaslahatan ini tidak dapat diketahui
kecuali melalui pemikiran dan perenungan kendatipun oleh sebagian akal manusia
tidak dapat diketahui karena sebab-sebab tertentu.
Dengan demikian, jelaslah kesalahan orang-orang yang mengistilahkan
peribadatan, hukum-hukum syariat, dan akhlak Islam dengan tradisi Islam.
Bila demikian halnya, peristilahan yang dhalim itu akan
memberikan konotasi bahwa akhlak dan perilaku Islam tersebut bukan karena
statusnya sebagai prinsip ilahi yang menjadi faktor kebahagiaan manusia,
melainkan sebagai tradisi lama yang diwarisi secara turun-temurun. Tentu saja,
istilah ini pada gilirannya akan menimbulkan rasa enggan pada kebanyakan orang
untuk menerima warisan lain yang ingin ditetapkan kepada masyarakat yang serba
berkembang dan maju ini.
Sesungguhnya, penyebutan hukum-hukum Islam dengan istilah
“tradisi Islam” bukan merupakan kesalahan yang tidak disengaja, melainkan
merupakan mata rantai penghancuran Islam dengan istilah-istilah yang
menyesatkan.
Tujuan utama dari pemasaran istilah “tradisi Islam” ini adalah agar
semua sistem dan hukum Islam dipahami sebagai tradisi sehingga makna tradisi
ini terkait dengan sistem-sistem dan hukum Islam selama masa sekian lama dalam
benak manusia, dan mereka lupa bahwa sistem-sistem tersebut pada akhirnya
merupakan prinsip-prinsip dan didasarkan pada tuntutan akal sehat, menjadi
gampanglah bagi musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam melalui “pintu”
yang telah dipersiapkan tersebut.
Tidak diragukan lagi, jika kaum Muslimin telah menyadari semua
prinsip dan hukum Islam, seperti masalah pernikahan dan tlalaq, jilbab wanita,
serta semua perilaku dan akhlak Islam sebagai “tradisi”, wajar saja jika
kemudian muncul orang yang mengajak pada penghancuran “tradisi” dan pembebasan
diri dari ikatanya, terutama pada abad dimana kebebasan berpendapat dan
berfikir sangat dominan.
Sesungguhnya tidak ada tradisi dalam Islam. Islam adalah agama
yang datang untuk membebaskan akal manusia dari segala ikatan tradisi,
sebagaimana kita lihat pada langkah-langkah awal dakwah yang dilakukan oleh
Rasulullah saw.
Sesungguhnya semua sistem dan perundang-undangan yang dibawa
oleh Islam merupakan prinsip. Prinsip adalah sesuatu yang tegas di atas
landasan pemikiran dan akal, dan bertujuan mencapai tujuan tertentu. Jika
prinsip manusia kadang –bahkan relatif sering- menyalahi kebenaran karena
kelemahan pemikirannya, prinsip Islam tidak pernah sama sekali menyalahi
kebenaran karena yang mensyariatkannya adalah Pencipta akal dan pemikiran
[Allah swt]. ini saja sudah cukup menjadi dalil ‘aqli untuk nenerima dan
meyakini kebenaran prinsip-prinsip Islam.
Tradisi hanya merupakan arus perilaku yang manusia terbawa
olehnya secara sepontan karena semata-mata faktor peniruan dan taklid yang ada
padanya.
Prinsip adalah garis yang harus mengatur perkembangan zaman,
bukan sebaliknya. Sementara itu, tradisi adalah sejumlah “benalu” yang tumbuh
secara spontan di tengah ladang pemikiran yang ada pada masyarakat. Tradisi
adalah hasyisy [candu] berbahaya yang harus dipunahkan dan dijauhkan dari
pemikiran sehat.